Welcome text

Selasa, 07 Mei 2013

Sejarah Mata Uang Rupiah yang diredenominasi dan rekalibrasi


    

Sejarah mengatakan bahwa nilai uang rupiah pernah diredenominasi berkali-kali  sampai saat ini yang umurnya yang 68 tahunan rupiah sudah mengalami berkali-kali rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat rezim Orde Lama pada 31 Desember 1965, memangkas nilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Istilah yang populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun pemerintah Orde Baru, rupiah juga mengalami berkali-kali rekalibrasi, dengan istilah berbeda, yakni devaluasi. Dalam beberapa tahun awal keberadaan Republik Indonesia rupiah juga sudah mengalami beberapa kali rekalibrarisi.
Begitu Indonesia diakui kemerdekaannya, 1949, rupiah dipatok sebesar 3.8 per dolar AS. Sesudah melorot sampai Rp 11.4 per dolar pada 1952 (saat ORI diganti menjadi Uang Bank Indonesia), dan terus melorot sampai Rp 45, melesat menjadi Rp 0,25 pada 1965, berkat sanering Soekarno. Selama Orde Baru, atas desakan IMF dan Bank Dunia rupiah berkali-kali didevaluasi. Pada 1970 menjadi Rp 378, pada 1971 menjadi Rp 415, pada 1978 merosot lagi 55%, menjadi lebih dari Rp 625 per dolar AS; didevaluasi lagi pada September 1983, 45%, menjadi Rp 970 per dolar AS. Pada 1986 bertengger di Rp 1.660/dolar AS.
Dari waktu ke waktu nilai tukar rupiah lalu terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS sebelum ‘Krismon’ 1997. Nilai rupiah kemudian ‘terjun bebas’ pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing – lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia – dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 16.000 per dolar AS, di awal 1998, dan saat ini fluktuatif di sekitar Rp 9.500-Rp 10.000 per dolar AS.
Jadi, munculnya gagasan untuk rekalibrasi rupiah kali ini, dengan cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. Tetapi bagi masyarakat umum apakah ada perbedaan implikasinya antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?
Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya. Ketiganya hanya bermakna bahwa mata uang rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Arti kongkritnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari semakin miskin. Dalam rentang dua tahun terakhir saja, sejak isu redenominasi dilontarkan2010 lalu, dibandingkan saat ini (2013), kalau diukur dengan nilai telor ayam saja, rupiah telah kehilangan lebih dari 25% daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100.000 mendapatkan 7 kg telor ayam, hari ini cuma 5 kg. Tidak ada bedanya apakah rupiah itu diberi lima angka 0 (Rp 100.000) ataukah digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100) hasil redenominasi. Daya belinya sudah tergerus 25% dalam dua tahun.
Penghilangan angka nol itu sejatinya dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek pengelolaan mata uang dengan angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis, karena pada titik tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima harga dengan nominal yang sangat besar. Tetapi, tujuan mendasarnya, adalah menutupi kegagalan mata uang kertas untuk mempertahankan daya belinya. Redenominasi hanya menyembunyikan penyakit sejatinya, yaitu depresiasi. Penyakit inflasi (akut atau kronis) atau tepatnya penurunan daya beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh rupiah. Semua mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS telah kehilangan daya belinya lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir, kehilangan sekitar 70% daya belinya. Rupiah? Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap dalam 65 tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini. Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 68 tahun Indonesia merdeka, kita telah dipermiskin sebanyak 275 ribu kali!
Rekalibrasi mata uang kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata uang berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009) redenominasi, dengan menghapus total 25 angka nol pada unit mata uangnya! Toh gagal juga, yang berakhir dengan tidak dimilikinya mata uang nasional Zimbabwe, dan kini menerima dolar AS sebagai mata uang mereka!

0 komentar:

Posting Komentar